Plagiarisme 2017


Pertama kali saya memplagiat karya tulis adalah saat dibangku SMA. 
Saat itu salah seorang guru menyiratkan bahwa jawaban ujian yang benar adalah apabila kata-katanya sama persis, dengan apa yang ada di buku. Sama persis disini tidak hanya kata-katanya, tetapi termasuk preposisi dan juga titik komanya.
Sehingga persiapan kami saat itu sebelum ujian adalah menghafal jawaban, bukan memahami persoalan.
Kenapa disebut plagiat? Ya, karena saat itu saya lupa (belum tahu) bahwa jawaban yang ditulis adalah karya seseorang yang saya hafal dan saya tuliskan ulang di lembar jawaban.
Seharusnya setelah menulis jawaban, saya sitasi nama pengarang buku itu, ya.
Kini saya sudah menjadi dosen. Perkara plagiarisme jadi musuh utama kami di dunia akademik. Kalau kami -sengaja atau tidak- ketahuan plagiat karya ilmiah, maka yang terkena dampak adalah institusi, berupa moratorium peningkatan JFA.
Kasus AFI jadi pengingat sekali bagi Saya. Jangankan plagiat di dunia akademik, di media sosial saja dimana orang banyak menyebutnya mimbar bebas beropini dan berekspresi, seseorang bisa mendapat hukuman sosial yang berpengaruh besar secara mental dan  psikologis di kehidupan sehari – hari jika melakukan plagiat.
Saya tahu hal ini jadi terasa berat bagi dik AFI, namun semoga dijadikan pembelajaran untuk ke depannya. 
Manusia memang diciptakan lemah, kemampuannya untuk belajarlah yang  membuatnya semakin kuat.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *